Sebuah bangkai bisa jadi tak akan pernah tercium selamanya… jika seseorang yang mencium baunya pura-pura tidak mencium, atau menyangkal sedang mencium bau bangkai.
Namun perasaan cinta bukanlah bangkai. Meski terselip dalam sebuah hubungan rumit bernama “pertemanan”, perasaan tetaplah perasaan. Gue orang yang percaya pada sebuah ungkapan…
Cewek dan cowok tidak pernah bisa menjadi best friend sepenuhnya.
Intensitas ketemu, ngobrol, dan saling terbuka mungkin saja perlahan, sedikit demi sedikit menumbuhkan benih-benih cinta, atau minimal suka. Dalam sebuah pertemanan seorang cowok dan cewek, bisa aja ada salah satu pihak yang sempat berpikir, “Dia baik banget. Mungkin gak sih gue suka sama dia? Apa mungkin kita jadian?”
“Kalau bukan suka? Kenapa gue cemburu kalo dia sama yang lain? Padahal kita cuma temen.”
Dan akhirnya pemikiran dan perasaan itu dibunuh dan dikubur dalam-dalam dengan batu nisan bertuliskan “atas nama pertemenan” tertancap di atasnya.
Dari contoh di atas, kadang gue berpikir pertemanan itu kejam. Sebuah pertemanan di antara dua manusia berbeda jenis kelamin, kemudian tumbuh rasa-rasa di dada. Apakah itu semua salah manusia? Bukankah cinta datang sendirinya tanpa diduga-duga?
Banyak orang yang rela membunuh rasanya sendiri hanya untuk menyelamatkan kedekatan dengan dia (dalam wujud teman) yang dipuja, dan untuk tetap bisa menjalani kebiasaan-kebiasaan bersamanya (meski dalam wujud teman).
Sederhananya, ada yang memilih memendam rasa hanya karena takut jadi jauh karena dia gak punya perasaan yang sama.
Miris, memang. Namun apa daya? Memang kadang rasa cinta yang tiba-tiba ada bisa menghancurkan jalinan pertemanan yang sudah dibangun sejak lama. Atau sebaliknya, status pertemanan yang ada membunuh sebuah cinta yang bersemi tiba-tiba.
“Nggak kok. Gue sama best friend gue gak ada rasa apa-apa.”
Mungkin kamu bilang nggak. Mungkin dia bilang nggak juga pas ditanya.
Tetapi di dalam hati, gak ada yang pernah tau… bahkan diri kamu.
Lalu, siapakah yang berharap dalam hubungan pertemanan kamu dengannya? Dia, atau kamu?
Dan sampai kapan mau membohongi diri sendiri?
Pertanyaan terakhir dalam hidupmu adalah…
Apakah pertemanan dan kedekatan itu lebih berharga dari rasa cinta yang tercipta? Dan apa kamu tega membunuhnya?
Pernah sekali dalam hidup gue, ulang tahun gue dirayain. Dekorasi balon dan kertas-kertas warna, kue ulang tahun, lengkap dengan teman-teman yang diundangan dengan selipat kertas bertuliskan “tiada kesan tanpa kehadiranmu… trims”.
Teman-teman datang bawa bungkusan, ada yang dibentuk indah lengkap dengan pitanya, ada juga yang polos dengan bentuk apa adanya. Pesta usai, gue pun membuka kado-kado itu dengan begitu antusias. Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, pas gue membuka kado-kado itu, mungkin gue akan berpikiran seperti ini…
*membuka kado berisi alat tulis*
“Yaaah, alat tulis. Berarti mesti rajin belajar. Bukan ini yang aku pengenin. Aku maunya game console, mainan, atau apa aja deh yang seru-seru.”
*membuka kado berisi mobil-mobilan truk*
“Yaaah, mainan truk. Aku gak suka truk. Aku maunya mobil balap.”
Dipikir-pikir, konsep kado ini bisa nyambung sama kehidupan sehari-hari. Kado di sini adalah sesuatu yang akan datang dan kita terima. Kadang, ketika kita berulang tahun, walaupun kita gak terbiasa diucapin, dikasih kado, apalagi pesta, pasti dalam hati kecil berharap ada seseorang yang inget sama hari ulang tahun kita.
Hal itu gue rasakan ketika awal-awal punya Facebook. Gue merasakan enaknya diucapin selamat ulang tahun sama temen-temen Facebook gue. Tapi setelah beberapa lama, ketika gue membuka halaman Facebook gue, gue melihat ada notifikasi temen gue yang lagi ulang tahun dan saat itu pula gue berpikir, “Oooh, temen-temen Facebook gue ngucapin gara-gara ini.”
Pada akhirnya gue memutuskan untuk gak nampilin tanggal lahir di profil Facebook. Dan setelah saat itu, orang-orang yang ngucapin adalah yang emang bener-bener deket sama gue. Lebih terasa tulus.
Okay, agak ngelantur. Kita kembali ke kado.
Kamu pasti pernah berulang tahun juga, dan mungkin, pernah dapet kado juga. Apa yang kamu rasakan sebelum menerima kado, saat mendapatkannya, dan setelah membukanya bisa bermacam-macam. Bisa jadi sebelum kamu dapet kado kamu gak menyangka sama sekali, atau malah mengharapkan banget dapet kado. Bisa jadi saat dapet kado kamu begitu kaget, atau malah bicara dalam hati, “Akhirnya dia ngasih aku kado juga.” Bisa jadi juga, setelah kamu membukanya kamu seneng banget karena tepat yang kamu inginkan, atau cuma bersyukur meski gak sesuai yang dimau tapi seenggaknya dia ingat.
Dari situ, gue mencoba melihat beberapa hal. Konsep kado ini mengingatkan gue bahwa PHP (Pemberian Harapan Palsu) itu berawal dari diri sendiri. Kita menaikkan harapan terlalu tinggi, misalnya berharap mendapat kado Play Station dari ayah. Berikutnya, saat dapet kado dari ayah (sesuai harapan) -karena kado- masih terbungkus, kita jadi makin senang dan harapan pun semakin naik. Pada akhirnya ketika membuka kado itu dengan wajah sumringah dan senyum merekah, kita malah kecewa bahwa isinya hanyalah buku dan alat tulis.
Ada satu faktor yang membuat semuanya jadi masuk akal: waktu.
Waktu selalu menyembuhkan. Kalau nggak menyembuhkan, ya minimal menyadarkan.
Gue sadar bahwa gue yang terlalu berharap dapet kado, dan ketika beneran dapet kado otomatis harapan membesar. Gue hanya siap mendapatkan apa yang gue inginkan, padahal ayah memberi gue apa yang gue butuhkan.
Ya, semua manusia suka kejutan… tapi hanya jika itu datang dalam bentuk yang menyenangkan.
Semestalah yang paling tau apa yang paling kamu butuhkan. Dia (atau mereka) gak peduli apa yang kamu inginkan. Kalau yang kamu inginkan sesuai sama yang kamu butuhkan, maka semesta akan ngasih itu. Dan itu bonus buat kamu.
Kalau nggak, berarti itu sebuah tempaan.
Tulisan di atas adalah buah lamunan gue seiring menuanya diri ini. Berharap semakin sadar, semakin bersyukur, tanpa bantuan waktu. Gue udah cukup merepotkan waktu untuk membantu gue sadar.
Beberapa bulan yang lalu gue naik kereta dari Bogor ke Jakarta setelah seharian nonton basket. Di Commuter Line gue melihat sepasang paruh baya mengobrol asyik dan mesra di gerbong yang sama dengan yang gue naiki.
Beda dari ketika gue melihat pasangan muda-mudi yang mesra-mesraan di kereta, kali ini gue gak kesel apalagi sirik, tapi gue merasakan hal ini adalah hal yang imut. Gue jadi kepikiran gimana awalnya mereka bisa saling kenal. Dulu kan belum ada Facebook yang bisa di-stalk buat tau informasi-informasi tentang orang itu, belum ada Twitter buat tau hal-hal apa aja yang sering dia pikirkan, belum ada Instagram supaya tau foto-foto terbaru dan apa aja yang seneng dia fotoin.
Lalu muncullah satu kemungkinan: mereka kenalan secara langsung, tatap muka.
Ya memang gak selalu si cowok sebagai orang asing, nyamperin si cewek terus ngajak kenalan. Tapi bisa juga melalui teman, dikenalin, tapi tetep aja tatap muka. Gue merasa unsur manusia sebagai makhluk sosial di situ masih sangat kental.
Kemudian muncul pertanyaan dalam diri gue.
Kapan terakhir kali lo ngajak kenalan orang lain secara langsung dan tatap muka?
Mendengar pertanyaan seperti itu dari diri gue sendiri, gue merasa tertampar. Gue pertama kali -dan terakhir kali- kenalan secara langsung itu waktu SMP. Kalo gak salah waktu pulang sekolah, gue tungguin orang yang pengen gue ajak kenalan, terus pas dia lewat gue stop terus gue ajak ngobrol.
Metode kenalan gue waktu itu kurang lebih seperti ini…
Gue: “Hai, lo Sisi, ya?”
Dia: “Iya.”
Gue: “Oh, gue sering liat lo. Makanya sekarang gue nungguin lo. Gue pengen kenal sama lo. Gue Oka.”
Dia: “Oh, iya. Gue Sisi.”
Kemudian setelah itu, gue berjalan bareng dengannya ke gerbang sekolah. Sayangnya rumah kita arahnya berlawanan. Jadi cuma sampai situ aja.
–
Ada beberapa hal yang gue pelajari dari pengalaman gue satu-satunya tadi, pengalaman temen-temen gue, dan jawaban-jawaban dari pertanyaan tentang kenalan yang pernah gue ajukan di Twitter.
Mulai dengan Nice, bukan Sok Nice (itu sosis)
Nice di sini ini maksud gue bisa dari senyumannya, gestur, mimik mukanya. Kalo kata beberapa followers gue di Twitter, keluarin senyuman kamu yang paling nice pas ngajak kenalan. Senyuman yang paling tulus.
No Basa-Basi Basi
Karena cewek itu makhluk yang ribet, yang gak bisa to the point, yang selalu bertele-tele dengan kode, makanya dia suka cowok yang tegas. Gak terlalu to the point, tapi tetap on the track pada tujuan. Bolehlah pake kalimat-kalimat pengantar, tapi jangan kebanyakan. Misal, “Gue pernah liat lo lagi milih buku. Suka baca juga?” Itu salah satu basa-basi yang menurut gue gak basi.
Tatap Mata Ketika Bicara
Sebenernya ini bukan cuma berlaku buat yang baru kenalan, tapi buat yang udah kenal atau lagi pedekate juga. Cewek itu paling suka kalo lagi ngomong ditatap matanya, bukan cuma diliat apalagi dilirik.
Yang Paling Penting
Semua kenalan akan sia-sia dan cuma akan jadi biang penasaran kalo abis itu gak tukeran kontak. Ini penting karena buat memperpanjang kenalan itu. Misalnya minta nomer telepon, atau minta username twitter-nya (buat di-stalk).
Nah berikutnya menurut beberapa reply-an yang gue terima waktu gue nanya tentang kenalan, cewek-cewek itu suka cara-cara kenalan kayak gini..
1. Misal pas cewek itu sendirian
Co: Hai, sendiri aja? Boleh ikut duduk?
Kalau dia ngebolehin, itu udah respon baik. Kalo nggak, bilang maaf ganggu.
Atau bisa juga gini..
2. Misal pas si cewek lagi ngeliat CD musik
Liat dulu dia lagi liat musik apa, kalo sejenis ya syukur. Kalo nggak, coba googling dulu dan pelajari beberapa faktanya.
Co: Seneng D’Bagindas juga?
Ce: Eh, nggak, cuma liat-liat doang. *ingat, “nggak”-nya cewek itu berarti iya
Co: Oh, itu, yang lagunya C.I.N.T.A. ya?
3. Jual nama temen
Co: Kamu [nama dia] ya? Aku temennya [nama temen dia dan temenmu juga]
4. Langsung nimbrung (misal pas nonton konser)
Co: Gila ya, Jared Letto ini ternyata main film juga. Kamu udah pernah nonton film-nya?
Ya kurang lebih kayak gitu. Tapi ada satu kesimpulan besar yang gue dapat juga dari reply-an para followers, yaitu…
Semua kembali ke tampang.
Bahkan teman gue sendiri pernah membuktikan itu, di depan mata gue. Ya memang jadi cowok itu serba salah. Banyak yang bilang kalo cowok ngajak kenalan langsung itu tandanya berani, tulus, gentle. Tapi banyak juga yang ketakutan, nganggap cowok itu genit, gatel, dan semacamnya pas ngajak kenalan.
Bersyukurnya gue belum lama ini berhasil kenalan secara langsung. Jadi yang waktu SMP itu bukan pertama kali dan sekali-kalinya lagi. Yang gue rasain, tertantang dan bangga juga sih bisa ngalahin malu, takut, dan gengsi buat kenalan tatap muka. Yang terpenting, rasa penasaran jadi ilang, daripada nebak-nebak sama ngayal-ngayal terus, kan?
Cuma kebiasaan jelek kebanyakan orang tuh, belum kenal aja udah mikir jauh-jauh. Mulai dari yang baik-baik, misal “kalo nanti berhasil, aku mesti ngomong apa?”, “nanti pas pertama pedekate, ngajak ke mana?”, “kalo mau jadian, mau nembaknya gimana?” sampai yang jelek-jelek “kalo dia gak mau diajak kenalan gimana?”, “kalo gue diteriakin tukang hipnotis gimana?”, “kalo nanti gue digebukin massa muka gue bakal jadi lebih ganteng apa tetep begini?”.
Pokoknya cobain aja dulu deh. Toh ngajak kenalan, kalo niatnya bagus, pasti dapet hasil yang bagus juga. Hasil yang bagus gak selalu berhasil kenalan, bisa aja ditolak tapi hati jadi lega. Itu juga hasil bagus.
Terakhir, satu pesan gue buat para cowok di luar sana. Jangan jadi pengecut yang cuma berani kenalan sama cewek lewat media sosial, chat, dan semacamnya. Itu terlalu gampang.
Setidaknya sekali dalam seumur hidup, cowok zaman sekarang harus nyobain yang namanya kenalan langsung, tatap muka.
Dijamin deh abis itu bisa merasa diri sendiri sebagai cowok sejati. Selamat mencoba, dan semoga semua gak kembali ke tampang.
Karena tampang bisa dikalahkan oleh attitude yang nice.
Dan cewek paling beruntung adalah yang pernah diajak kenalan langsung sama cowok. Itu berarti pernah ada cowok gentle yang deketin dia. Sedikit tips buat cewek: kadang cowok agak susah cari celah dan kagok mau kenalan kalau kamu selaluuuuuu nempel sama temen-temen. Sekali-sekali misah sebentar dari gerombolan temen, atau mungkin gak ada salahnya jalan sendiri.